Kini aku malu pada sang senja
Malu pada tinta-tinta kesaksian
diatas kertas yang melumuri wajahku
Malu pada dasar lautan yang terus bermahkotakan
mutiara
Tangkai-tangkai perasaan malu kini
telah memuncak yang hampir menyaingi sang himalaya
Saat anak-anak bersulam putih
abu-abu bersyair dengan sajak-sajak berdarah
Saat angan-anganku seakan tak lagi
bermesra dengan dunia yang mencintaiku
Saat bintang-bintang penuh amarah
melihat hastrat penuh keegoisan ku mencumbui purnama
Yang mungkin bagi mereka adalah halusinasi
bodoh dan imajinasi yang sedang mabuk
Aku malu wahai dunia
Pada sajak yang terus melodi dalam
tanya
Kapankan datang mentari yang dulu
bertaburan dari sabang hingga merauke
Kini aku tak mampu menjawab,
perlahan aku pejamkan mata
Mengingat mimpi dan ribuan harapan
yang dulu aku rawat dengan perih
Mungkingkah ia dapat tumbuh di
antara selaksa derita ini?
Harapan ku semoga harapanku
bermekaran menaungi mereka yang sedang musafir
Dan sampai nafas ini berakhir ia
dapat beranak pinak
Sebagai amalan ku untuk menahan
jeritan di saat aku kembali dalam pangkuan Sang kuasa
Jika harapanku tak lagi dijajajah
dan di kungkung
Maka mungkin akhir dari cerita ini
hanya akan lari bersama angin
Menyembunyikan racun-racun yang
dahulu ia tumpahkan di wajahku
Dan aku akan bebas jelajahi dunia
tanpa rasa malu seraya aku sungkurkan wajah ini menikmati lautan yang meredam
zikirku dalam sujud
Nb: Teruntuk Tuan yang dahulu memelihara
senyumnya tanpa iba dan peduli pada diri ini yang di porak-porandakan puting
beliung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar