Oleh
: M Hamka Syaifudin
“
menghamba kepada yang maha mulia niscaya akan mulia, menghamba kepda yang hina
niscaya akan terhina. (Abu Bakar Ash Shiddiq)
Dalam mengarungi samudera kehidupan
ini tak banyak manusia yang salah kaprah dan terjebak dalam pilihan yang salah,
pilihan yang mungkin baik tetapi tidak bisa menghantarkan ia pada tingkat
kedamaian. Tentu yang kita inginkankan bersama adalah ketentraman/ keamaian
yang datang dari hati. Ada juga kedamaian tetapi hanya bersifat semu yakni
kedamaian yang datangnya dari syaitan.
Berbicara tentang kehidupan maka kita
tidak terlepas dari yang namanya syukur. Sebab semua yang ada di dunia ini
sudah terlalu banyak yang di sediakan dan di fasilitasi oleh Allah swt. Bagi
orang yang beriman kepada Allah maka ia hanya mengambil seseatu sekedarnya saja
untuk menjadi bekal perjalanannya. Dan bagi orang yang kufur dan tidak
bersyukur itu semua masih sangat kurang, itu semua belum cukup untuk menjadi
bekalnya, itu belum cukup untuk memuaskan hastrat dirinya, istrinya bahkan anak-anak
nya, dan terkadang ia selalu mencela, mencerca kehidupannya sedniri.
Perlu kita sadari lagi bahwasanya,
ketika Allah swt menciptakan kita di alam rahim seorang ibu, disina sudah
ditetapkan mengenai rezeki kita, umur kita, jodoh kita dan lain sebagainya. dan
itulah takdir kita yang tak akan berubah. Tinggal saja sekarang kita menjemput
rezeki itu. Jika belum waktu nya maka sekuat apapun usaha yang kita lakukan
tidak akan berhasil, maka perbanyaklah untuk senantiasa bersyukur kepada Allah
swt agar Allah senantiasa memberikan kemudahan kepada kita, serta menambahkan
rasa kedamaian dalam jiwa kita. Agar usaha yang begitu letih tidak menjadi
sia-sia semata tetapi dapat bernilai ibadah.
Dalam sebuah ayat kudsi Allah swt berfirman. “apabila engkau
melihat Allah swt memberikan rizeki kepada seorang hamba yang sellau berkutat
dalam kemaksiatan maka sungguh ia hanya mendapatkan tipu daya Allah swt.
Hadits ini memberikan pukulan yang cukup keras, sebab selama ini kita lupa
mengintropeksi diri kita, apakah kita beriman kepada Allah atau kita bagan dari
orang yang selalu berkutat dalam kemaksiatan itu. Jika kita orang yang beriman tentu tidak
lain adalah senantiasa bersyukur kepada
Allah, tetapi jika kita jauh dari Allah, selalu melanggar perintahnya, maka
tentu saja nikmat dari Allah uitu hanyalah tiupu daya semata, semakin banyak
kita peroleh malah semakin gelisah dibuatnya, semakin banyak rezeki kita
peroleh malah semakin merasa kurang, bahkan ibaratnya kita sepeti menelan air
laut semakin banyak di telan semakin menambah rasa haus pula. Itulah
perbandingan dan ujian dari Allah kepada kita, sejauh mana kita mampu
menempatkan diri dalam menggunakan nikmat itu unjtuk mengabdi dan beribadah
kepadanya.
Imam syafi’i berkata dalam sebuah syairnya : Andaikan diantara
kalian mengetahui dahsyatnya hempitan pertama di alam kubur niscaya kalian akan
lalai dari dunia dan segala macam keindahanya. Masya Allah. Kita lihat bagaiman
para ulama selalu menasehati kita, para ulama telah memberian contoh yakni
bagaimana mereka mengambil kenikatan dunia ini. Bagi mereka dunia itu adalah
kehinaan, maka barang siapa yang mengahambakan dirinya maka ia bagian dari
kehinaan itu. Para ulama telah mengajarkan kepada kita untuk berhati-hati
dengan dunia yang penuh fitnah ini. Para ulama bahkan sangat takut untuk
lama-lama dalam berurusan dengan dunia, karena dunia itu ibaratnya sebuah mata
pisau yang tajam, jika tidak di gunakan dengan baik maka berhati-hatilah
dengannya. Sehingga para ulama lebih memilih menghabiskan waktunya untuk
beribdah kepada Allah swt. Ibadah adalah upaya cerdas untuk meloloskan diri
dari jeratan waktu( hikmah).
Dalam sebuah pepatah mengatakan: dunia adalah panggung sandiwara.
Dan jika kembali merujuk pada Alqu’an maka kurang lebih terbagi menjadi 3 macam
kenimatan dunia yakni : La ibuwwalahu ( permainan dan senda gurau)
Mataa ul ghuruur(kesenangan yang menipu) dan mataa un qaliil(
kesenangan sesaat).
Dengan beberapa hikmah diatas dapat memberikan sedikit goresan yang
menghujam dalam hati kita agar senantiasa bersyukur kepada Allah swt. Bukan
berarti kita di larang untuk mencicipi duni beserta kelezataannya itu tetapi
jangan sampai semunya itu melalaikan kita serta membuat hati menjadi kufur
nikmat. Sebagai orang beriaman harus ekstra berhati-hati agar tidak terjerumus
kesana, jika sudah terlanjur maka bertaubatlah kepada sang maha pengasih. Semoga prinsip yang kita bangun
tidak hanya berdasarkan materialis tetapi adanya keimaman dan kesyukuran
menyertainya. Dengan demikian kita dapat bekerja di dunia seakan hidup
selama-lamanya dan bekerja untuk akhirat seakan esok hari kita kembali di atas pangkuan
sang maha penguasa langit dan bumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar