M.Hamka Syaifudin
Semilir angin malam datang membawa tanya. Adakah dendam yang engkau
selimuti? Mengapa terlalu cepat engkau
beranjak pergi sebelum surat kecil ini hadir? Ketahuilah, bahwa kini engkau telah
membuat aku menangis. Sebab, aku telah kehilangan segala-galanya, padahal aku
adalah lelaki yang tangguh dan sangat sulit bagi air mata menetes.
Kepergianmu telah membuat bintang-bintang menangis histeris, dan
juga sang hawa yang batinnya tersiksa hingga ia tak mampu berkata sepatah kata
pun. Mungkin karena cintanya telah
benar-benar bertahta dalam hati, hingga ia rela atas segala nuansa takdir yang
bernafas penuh kegelisahan dan bak air mata.
Duhai sang senja..................
Semilir angin dari sumatra ku titipkan beribu pinta maaf. Sebab aku
tak sempat hadir kala sang Izrail
berkuasa dihadapan sanak famili yang tak berdaya,dan hanya menangis merintih
diatas panggung takdir Sang Kuasa. Sebab saat ini aku telah terlalu jauh mengembara, hingga sayap-sayap
akan terasa lelah jika terpaksa harus berbalik dari putaran nan deras arah mata
angin ini. Dan jika alasanku engkau maafkan, mengapa tidak pada sang Hawa
engkau melantunkan ayat-ayat maaf terakhir? Bukankah ia telah ditakdirkan untuk
menuntut perjalan panjang mu. Ia juga hanyalah wanita yang lahir diatas
penderitaan. Tetapi ia begitu mencintaimu dengan kepenuhan jiwa, keikhlasan
hati, dan kebesaran abdi bakti yang pernah ia miliki. Setelah sayap-sayap
rapuh, dan tak berdaya baru engkau menangis menyadari cintanya yang tak pernah
engkau temui dibelahan bumi manapun. Sebab dialah satu-satunya wanita yang
diciptakan dari rusukmu sendiri. Hingga ia begitu penuh tabah, dan engkau pun
tak mampu membayangkan nalurinya.
Duhai sang senja..............
Nurani
ku kini bertanya, surat-surat yang dahulu ku kirim mengapa tak ada jawabannya.
Adakah secuil dendam mu padaku? Walaupun demikian. Aku tetap pasrah dengan
nuansa kehidupan ku sendiri yang mungkin belum sempat diraih kenikmatannya.
Tetapi aku lakukan semua ini adalah bentuk pengabdian yang terbaik untukmu,
sebab aku kini telah berjalan diatas titah mu, dan tak pernah aku membiarkan
perkataan mu jatuh di sentuh puing-puing tanah maupun debu-debu keegoisan yang
bertebaran dipermukaan bumi.
Duhai sang senja..............
Mungkinkah engkau dahulu hidup hanya
mengikuti nuranimu atau hanya berpayung cerita-cerita indah dalam khayalan
mimpi sesaatmu. Jika ia. Mengapa tak engkau kabarkan pada mentari-mentari dan
belahan jiwamu sebelum petang benar-benar datang memabawa kegelapan itu.
Ataukah engkau telah menyimpan selaksa siksa atas kepergian kekasihmu beberapa
tahun silam yang begitu engkau dekap dengan harapan agar bisa mendatangkan
setetes embun disaat musim panas nanti.
Duhai sang senja..................
Takdir telah bergema. Maka dengan keiklasan dan ketulusan hati kami
melepaskanmu, walaupun deraian air mata terus menari-nari diatas duka hati ini.
Sebab kami akan kehilangan sang panutan hidup yang berhastrat melihat kami
tersenyum. Tetapi tak mengapa, sebab hari ini dia sudah mampu tersenyum akan
kehidupan yang sudah ia curahkan dengan tetesan air mata dan darah, hingga
anak-anaknya mampu mengenal dan mencumbui sang purnama.
Duhai sang senja..................
Maafkanlah daku
Maafkanlah aku, senja
Yang telah melukiskan kekhilafan
dari sikapku. Yang abdi bakti ku tak seberapa peserpun untuk
menyayangimu, sebab aku pun kini masih merangkak bertatih-tatih hanya untuk
belajar menghormatimu.
Ketahuilah duhai sang
senja.........walaupun kini engkau tiada, tetapi doa-doa kami akan terus
bertasbih dalam lantunan sujud yang akan bergema disetiap airmata ini. Sebab
kami semua akan berjalan diatas tuntunan agama yang telah engkau contohkan.
Semoga inilah amal bakti kami yang dapat membuatmu tersenyum simpuh
diatas dipan-dipan mahligai syurga......................Aamiin ya Rabb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar