(Percakapan
sunyi dibalik jembatan barelang)
Wahai sang penyair
Hendak apa manusia rindukan nyanyian?
Untuk apa lidah-lidah itu harus berdering membelai samudra
Padahal nyanyian masa kini hanya penuh dusta berselimut air mata
Hai pemuda sang pengembara
Pandangi dan renugilah sang arsitek pencetus barelang ini
Jembatan yang kokoh bagai sang raksasa ini akan hancur binasa bila
ia tak memendam murkanya pada lautan yang selalu menghantam wajah mulusnya itu
Maka renungilah jiwamu yang memanas dibawah terik tukang sihir
Jiwa mu telah retak oleh sumpah serakah yang dahulu bergelombang
penuh linangan sukma
Air mata mu hanya muncul bagai petir yang hadir memberi
isyarat dikala mendung
Maka dengarkanlah nyanyian itu sejenak, nak
Andai nyanyian-nyanyian itu dusta
Tetapi ia hadir menawarkan dendang-dendang kedamaian
Dekaplah saja dengan erat baitnya hingga pipimu menghembuskan
keinsyafan
Wahai sang pengembara
Bernanyilah malam ini walau ada bait-bait dusta disana
Sebab jika jiwa terlalu banyak membisu maka daun-daun akan
berguguran sebelum musim gugur tiba
Wahai sang kembara
Bernanyilah untuk ku juga
Hingga jiwa ku dapat bersama mu
Agar aku dapat menyelami syair-syair dari setiap nyanyian dusta itu
Dan hingga aku dapat melukiskan akhir cerita dari pengembaraan mu
Nak, pulanglah sebelum senja tiba
Bila kelak jembatan barelang itu runtuh maka ia sudah menikmati
nyanyiannya.
Bernyanyiah dalam perjalananmu, andai aku di izinkan maka aku akan
terus berhibur diri setiap senja di jembatan barelang ini untuk menyanyi sesuka
hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar