Breaking

LightBlog

Rabu, 31 Agustus 2016

ADA APA DI BALIK PRO KONTRA FDS DAN BDS



Oleh : M Hamka Syaifudin
Mahasiswa semester III
Belum lama ini ada satu wacana yang mengundang reaksi  pro dan kontra, baik itu di kalangan guru, orang tua wali murid, maupun siswa-siswi yang sedang menimba ilmu pengetahuan.
Wacana ini sebenarnya sudah tidak asing lagi ditelinga kita, sebab di beberapa sekolah sudah banyak yang menerapkannya dan bahkan sudah di terapkan di sekolah-sekolah internasional, Hanya saja perlu pendalaman yang cukup agar tidak kaku dan parsial  memahaminya, sebab beberapa warganet di dunia maya sudah berani bersumpah serapah dan geram dengan wacana tersebut. Mereka menganggap pak menteri terlalu gegabah membawa wacana ini ke muka  publik. (republika.co.id)
Dunia pendidikan hadir sebenarnya memberikan nilai lebih, tidak ada pendidikan yang tujuannya mengebiri kebebasan pesertadidik, namun sekali lagi masalahnya kemudian adalah attitude( cara pandang) yang harus menjadi patokan dasar untuk menilai suatu kebaikan itu.
Menurut hemat penulis, diantara full day school dan boarding school mempunyai sisi plus minutesnya, diantara dua kekurangan dan kelebihan inilah yang harus kita cermat menyikapinya dengan bijak. Dan itu sebenarnya tidak menjadi suatu hal yang panjanglebar di perdebatkan,  kesimpulannya hanya pada niat dan harapan orangtua untuk memberikan velue(nilai) dan penanaman moral untuk mengarahkan anaknya menuju masa depan. Memang salah satu sisi lain dari FDS adalah di berlakukan secara global dan universal, inilah yang menjadi titik berat penolakan tersebut. Jika wacana itu hanya sekedar untuk memberikan kebebasan secara parsial dalam lingkungan pendidkan tertentu maka respon akan datang beragam dalam menyikapinya, tetapi jika penerapannya secara universal maka sangat sulit melihat ragamnya pendidikan ditanah air ini, setiap daerah mempunyai kualitas berbeda-beda, sarana prasarana yang tidak mendukung maupun sumber daya insani  yang tidak mempuni untuk menyambut baik kehadirannya full day schooll tersebut.
Jika kita ingin melihat wacana pak menteri ini bukannya tidak beralasan, beliau mempunyai tujuan yakni untuk mengurangi krisis moral dan membentuk karakter dasar pesertadidik. Ini merupakan niat awal yang hendak di tawarkan, sebab pendidikan saat ini sudah sangat darurat krisis moral, dan nilai di balik pendidikan tersebut tidak mampu menghantarkan pesertadidik menjadi insan yang sempurna, manusia yang paripurna dalam menjalani aspek kehidupan ini, bukankah defenisi pendidikan itu adalah suatu usaha sadar yang dilakukan oleh pendidik untuk menghantarkan pesertadidik menjadi insan kamil. Jika kita merunut kepada defenisi tersebut maka sangat jauh rasanya dengan kenyataan saat ini, sebab belum ada bukti kongkrit dari para pesertadidik untuk mengurangi keresahan masyarakat khususnya. Justru lebih banyak menghawatirkan masyarakat diakibatkan ulah dan sikapnya yang sudah tak asing lagi di telinga kita dengan istilah tawuran antar remaja, hubungan seks bebas, minuman keras, kekerasan, anarkisme, dan itu bukan tanpa bukti, buktinya sudah terlalu banyak baik itu dari sabang sampai pada pelosok marauke, sudah terlalu banyak kasus yang mencoret nama baik nilai pendidikan itu sendiri.
Di jaman modern ini pendidikan selalu di identikkan dengan sekolah, kalau kita merujuk kembali di jaman Rasulullah tidak ada sekolah, tapi bisa lahirlah pribadi-pribadi yang tangguh dan mulia, dan menjadi sebaik-baik generasi pada jaman Rasullullah. Nah, sekarang mengapa pendidikan ini tidak bisa mengeluarkan kita dari krisis moral tersebut? Yakni karena kita tidak melibatkan semua pihak untuk membentuk karakter pesertadidik itu, dan nilai pendidikan yang sekarang kita geluti cenderung liberal. Semua pihak yang dimaksud itu adalah peran orangtua, guru dan masyarakat. Mengapa? Orangtua saat ini menginginkan anak-anaknya menjadi pribadi yang berkarakter, tetapi ketika anaknya sudah berkecimpung dalam dunia pendidikan maka orangtua mengangap sudah tidak punya beban lagi, makanya ada istilah pendidikan adalah bengkel bagi anak, hal ini sebenarnya keliru, proses pendidkan dasar yang paling efektif  sebenarnya adalah rumah, orangtua tidak boleh meninggalkan peranannya ini, dan semuanya tidak jug dibebankan pada guru, guru itu hanya sebatas fasilitator untu membantu pesertadidik menemukan jati diri, dan menghantarkan mereka menjadi pribadi-pribadi yang mengenal Allah swt dan sebagai transfer lenguage. Gurulah yang membantu pesertadidik untuk menguatkan nilai-nilai yang diterapkan oleh para orangtua.
Problematika di negeri tidak berakhir karena problem pendidikannya tidak terbenahi, pendidikan itu adalah azas tegaknya peradaban, ingin melihat masyarakat yang beradab maka benahi pendidikannya, ini tanggungjawab semua kalangan baik dari masyarakat bawah (low organisation) sampai pada pemerintahan tertinggi.
Penulis mengambil sedikit kesimpulan untuk menjelaskan lebih terarah penulisan ini adalah bahwa, adanya FDS ini merupakan suatu upaya untuk menawarkan suatu pembenahan terkait krisis moral dan nilai pendidikan di mata publik, sejatinya kita sama-sama mencari solusi terbaiknya untuk mengembalikan nilai pendidikan itu sebagai azaz dari kebangkitan peradaban di negeri tecinta ini. Pak mentri hanya menawarkan suatu solusi, dan patutnya kita mengancungi jempol dengan wacana itu  sebab pendidikan saat ini sudah rusak dan krisis moral yan tiada penghujungnya, maka dengan adanya FDS itu diharapkan bisa menekan dan membentuk karakter yang baik sejak dini dengan budaya keilmuan, (at the firs you make habbits, at the last habbtis make you ) awalnya kita membuat suatu kebiasaan dan akhirnya kebiasanlah yang akan membentuk pola kita. Dan suatu hal yang perlu di garisbawahi pak mentri adalah keseriusan dalam menerapkan FDS tersebut, bagaimana meningkatkan segala aspek yang menjadi faktor pendukung mulusnya penerapan FDS tersebut. Jangan sampai hanya menawarkan solusi tetapi tidak jeli dengan faktor-faktor penghambat dan pendukung jalannya misi itu.
Ada sebuah riset yang dilakukan oleh 3 orang tokoh atheis yakni, Richard lynn, Helmuth nyborg dan John Harvey. Mereka melakukan riset yang meliputi 137 negara di dunia termaksud indonesia yang mana mereka mengembil sebuah statemen yakni “ semakin cerdas seseorang, maka ia akan semakin sekuler dan atheis. Semakin bodoh seseorang maka ia akan semakin relegious. (buku misyikat, karya Hamid Fahmi Zarkasyi). Ketika penulis membacanya, timbullah suatu keresahan tersendiri karena selama ini yang tertanam dalam konsep pemahaman kebanyakan orang adalah ilmu adalah suatu hal yang hanya diketahui, bukan untuk diamalkan, makanya walaupun pendidikan islam di negri ini banyak tetapi belum bisa memberikan tauladan dan warna dalam menegakkan kebenaran yang mencegah kebatilan, akibatnya dari ilmu hanya sebatas konsep pemahaman, tetapi bagi orang beriman ilmu harus untuk diamalkan dan di dakwahkan, sebab seorang intelektual sejati itu selalu gelisah melihat problematika ummatnya.
Oleh karena itu marilah sama-sama kita meluruskan pikiran kita, meluruskan hati kita dan meluruskan niat kita, untuk apa kita menyekolahkan anak kita, untuk apa anak-anak kita membekali mereka dengan keilmuan dan untuk apa pendidikan itu harus dibenahi, marilah bersama-sama menghantarkan mereka menjadi generasi-genersi terbaik, kita semua mempunyai peran penting di dalamnya, kita semua punya tanggungjawab, kita semua ingin melihat negri ini menjadi negeri yang baldatun tayyibatun wa rabbun gafur, maka mari benahi pendidikan kita./ wallahua’lam



Tidak ada komentar:

Posting Komentar