Oleh : M Hamka Syaifudin
Mahasiswa semester III
Belum lama ini ada satu wacana yang mengundang reaksi pro dan kontra, baik itu di kalangan guru,
orang tua wali murid, maupun siswa-siswi yang sedang menimba ilmu pengetahuan.
Wacana ini sebenarnya sudah tidak asing lagi ditelinga kita, sebab
di beberapa sekolah sudah banyak yang menerapkannya dan bahkan sudah di
terapkan di sekolah-sekolah internasional, Hanya saja perlu pendalaman yang
cukup agar tidak kaku dan parsial memahaminya,
sebab beberapa warganet di dunia maya sudah berani bersumpah serapah dan geram
dengan wacana tersebut. Mereka menganggap pak menteri terlalu gegabah membawa
wacana ini ke muka publik.
(republika.co.id)
Dunia pendidikan hadir sebenarnya memberikan nilai lebih, tidak ada
pendidikan yang tujuannya mengebiri kebebasan pesertadidik, namun sekali lagi
masalahnya kemudian adalah attitude( cara pandang) yang harus menjadi
patokan dasar untuk menilai suatu kebaikan itu.
Menurut hemat penulis, diantara full day school dan boarding school
mempunyai sisi plus minutesnya, diantara dua kekurangan dan kelebihan inilah
yang harus kita cermat menyikapinya dengan bijak. Dan itu sebenarnya tidak
menjadi suatu hal yang panjanglebar di perdebatkan, kesimpulannya hanya pada niat dan harapan
orangtua untuk memberikan velue(nilai) dan penanaman moral untuk mengarahkan
anaknya menuju masa depan. Memang salah satu sisi lain dari FDS adalah di
berlakukan secara global dan universal, inilah yang menjadi titik berat
penolakan tersebut. Jika wacana itu hanya sekedar untuk memberikan kebebasan secara
parsial dalam lingkungan pendidkan tertentu maka respon akan datang beragam
dalam menyikapinya, tetapi jika penerapannya secara universal maka sangat sulit
melihat ragamnya pendidikan ditanah air ini, setiap daerah mempunyai kualitas
berbeda-beda, sarana prasarana yang tidak mendukung maupun sumber daya insani yang tidak mempuni untuk menyambut baik kehadirannya
full day schooll tersebut.
Jika kita ingin melihat wacana pak menteri ini bukannya tidak
beralasan, beliau mempunyai tujuan yakni untuk mengurangi krisis moral dan membentuk
karakter dasar pesertadidik. Ini merupakan niat awal yang hendak di tawarkan, sebab
pendidikan saat ini sudah sangat darurat krisis moral, dan nilai di balik
pendidikan tersebut tidak mampu menghantarkan pesertadidik menjadi insan yang
sempurna, manusia yang paripurna dalam menjalani aspek kehidupan ini, bukankah
defenisi pendidikan itu adalah suatu usaha sadar yang dilakukan oleh pendidik untuk
menghantarkan pesertadidik menjadi insan kamil. Jika kita merunut kepada
defenisi tersebut maka sangat jauh rasanya dengan kenyataan saat ini, sebab
belum ada bukti kongkrit dari para pesertadidik untuk mengurangi keresahan
masyarakat khususnya. Justru lebih banyak menghawatirkan masyarakat diakibatkan
ulah dan sikapnya yang sudah tak asing lagi di telinga kita dengan istilah
tawuran antar remaja, hubungan seks bebas, minuman keras, kekerasan, anarkisme,
dan itu bukan tanpa bukti, buktinya sudah terlalu banyak baik itu dari sabang
sampai pada pelosok marauke, sudah terlalu banyak kasus yang mencoret nama baik
nilai pendidikan itu sendiri.
Di jaman modern ini pendidikan selalu di identikkan dengan sekolah,
kalau kita merujuk kembali di jaman Rasulullah tidak ada sekolah, tapi bisa
lahirlah pribadi-pribadi yang tangguh dan mulia, dan menjadi sebaik-baik
generasi pada jaman Rasullullah. Nah, sekarang mengapa pendidikan ini tidak
bisa mengeluarkan kita dari krisis moral tersebut? Yakni karena kita tidak
melibatkan semua pihak untuk membentuk karakter pesertadidik itu, dan nilai
pendidikan yang sekarang kita geluti cenderung liberal. Semua pihak yang
dimaksud itu adalah peran orangtua, guru dan masyarakat. Mengapa? Orangtua saat
ini menginginkan anak-anaknya menjadi pribadi yang berkarakter, tetapi ketika
anaknya sudah berkecimpung dalam dunia pendidikan maka orangtua mengangap sudah
tidak punya beban lagi, makanya ada istilah pendidikan adalah bengkel bagi
anak, hal ini sebenarnya keliru, proses pendidkan dasar yang paling efektif sebenarnya adalah rumah, orangtua tidak boleh
meninggalkan peranannya ini, dan semuanya tidak jug dibebankan pada guru, guru
itu hanya sebatas fasilitator untu membantu pesertadidik menemukan jati diri, dan
menghantarkan mereka menjadi pribadi-pribadi yang mengenal Allah swt dan sebagai
transfer lenguage. Gurulah yang membantu pesertadidik untuk menguatkan
nilai-nilai yang diterapkan oleh para orangtua.
Problematika di negeri tidak berakhir karena problem pendidikannya
tidak terbenahi, pendidikan itu adalah azas tegaknya peradaban, ingin melihat
masyarakat yang beradab maka benahi pendidikannya, ini tanggungjawab semua
kalangan baik dari masyarakat bawah (low organisation) sampai pada
pemerintahan tertinggi.
Penulis mengambil sedikit kesimpulan untuk menjelaskan lebih
terarah penulisan ini adalah bahwa, adanya FDS ini merupakan suatu upaya untuk
menawarkan suatu pembenahan terkait krisis moral dan nilai pendidikan di mata
publik, sejatinya kita sama-sama mencari solusi terbaiknya untuk mengembalikan
nilai pendidikan itu sebagai azaz dari kebangkitan peradaban di negeri tecinta
ini. Pak mentri hanya menawarkan suatu solusi, dan patutnya kita mengancungi
jempol dengan wacana itu sebab
pendidikan saat ini sudah rusak dan krisis moral yan tiada penghujungnya, maka
dengan adanya FDS itu diharapkan bisa menekan dan membentuk karakter yang baik
sejak dini dengan budaya keilmuan, (at the firs you make habbits, at the
last habbtis make you ) awalnya kita membuat suatu kebiasaan dan akhirnya
kebiasanlah yang akan membentuk pola kita. Dan suatu hal yang perlu di garisbawahi
pak mentri adalah keseriusan dalam menerapkan FDS tersebut, bagaimana meningkatkan
segala aspek yang menjadi faktor pendukung mulusnya penerapan FDS tersebut.
Jangan sampai hanya menawarkan solusi tetapi tidak jeli dengan faktor-faktor
penghambat dan pendukung jalannya misi itu.
Ada sebuah riset yang dilakukan oleh 3 orang tokoh atheis yakni,
Richard lynn, Helmuth nyborg dan John Harvey. Mereka melakukan riset yang
meliputi 137 negara di dunia termaksud indonesia yang mana mereka mengembil
sebuah statemen yakni “ semakin cerdas seseorang, maka ia akan semakin
sekuler dan atheis. Semakin bodoh seseorang maka ia akan semakin relegious.
(buku misyikat, karya Hamid Fahmi Zarkasyi). Ketika penulis membacanya, timbullah
suatu keresahan tersendiri karena selama ini yang tertanam dalam konsep
pemahaman kebanyakan orang adalah ilmu adalah suatu hal yang hanya diketahui,
bukan untuk diamalkan, makanya walaupun pendidikan islam di negri ini banyak
tetapi belum bisa memberikan tauladan dan warna dalam menegakkan kebenaran yang
mencegah kebatilan, akibatnya dari ilmu hanya sebatas konsep pemahaman, tetapi
bagi orang beriman ilmu harus untuk diamalkan dan di dakwahkan, sebab seorang
intelektual sejati itu selalu gelisah melihat problematika ummatnya.
Oleh karena itu marilah sama-sama kita meluruskan pikiran kita,
meluruskan hati kita dan meluruskan niat kita, untuk apa kita menyekolahkan
anak kita, untuk apa anak-anak kita membekali mereka dengan keilmuan dan untuk
apa pendidikan itu harus dibenahi, marilah bersama-sama menghantarkan mereka
menjadi generasi-genersi terbaik, kita semua mempunyai peran penting di
dalamnya, kita semua punya tanggungjawab, kita semua ingin melihat negri ini
menjadi negeri yang baldatun tayyibatun wa rabbun gafur, maka mari benahi pendidikan
kita./ wallahua’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar